“3 komponen yang secara manifes akan membentuk pribadi anak adalah orang tua, guru, dan lingkungan”.
Baru saja saya selesai mengikuti kegiatan hearing dengan yayasan yang mengundang para praktisi, pakar, dan stakeholder sekolah tentang konsep pendidikan ramah yang sesuai fitrah anak malah saya mendapat kabar dari security sekolah tentang laporan adanya perkelahian – security menyebutnya tawuran – yang melibatkan anak-anak murid saya. Kejadian itu di sekitaran komplek perumahan yang berdekatan dengan sekolah tempat saya mengajar. Namun karena sudah terlalu sore dan saya sudah ada janji dengan keluarga maka saya putuskan langsung pulang dengan membawa kertas yang diberikan security bertuliskan nama-nama anak yang terlibat perkelahian tersebut.
Setibanya di rumah saya langsung mengontak wali kelas anak-anak tersebut sambil menginfokan juga di group WA guru-guru. Kabar pun masih simpang siur mengenai kronologis kejadian tersebut. Saya putuskan wali kelas untuk menelpon orang tuanya dan besok diminta hadir di sekolah sekalian pembagian raport UAS 1. Kebetulan keesokan harinya adalah jadwal pembagian raport dan saya sudah teragenda oleh beberapa wali murid yang akan sharing tentang perkembangan anaknya maka konseling saya tugaskan kepada wali kelas dan Wakasek Bidang Humas. Info sementara yang didapat sebab terjadinya perkelahian tersebut lantaran ucapan salah seorang murid yang menyinggung temannya di sosial media.
“Ya, lagi-lagi karena sosmed”, ujar salah seorang guru di group WA. Kami pun mendapatkan screenshoot-nya dari akun anak tersebut. Tidak mudah memang menjadi guru di era digital seperti sekarang ini. Selain harus bisa menyeimbangkan kompetensi mengajar dengan kecepatan kemampuan komputasi anak didik guru pun harus bisa menyesuaikan kapasitas dirinya dengan keaktifan muridnya di sosmed. Beberapa guru berbeda pendapat tentang keterlibatan guru dalam hal pertemanan dengan murid di sosmed. Sebagian akan mengatakan bahwa (pertemanan di sosmed) tidak harus diterima, bahkan beberapa murid akan mencapnya sebagai guru “kepo” ketika guru mengetahui beberapa permasalahan dari akun sosmednya yang menjalin pertemanan.
Namun bagi sebagian lainnya yang merasa tanggungjawab guru adalah mendidik akan berkata bahwa guru berteman dengan murid di sosmed dalam interaksinya agar dapat mengontrol baik dari segi ucapan, attitude, dan lain sebagainya yang akan berdampak pada pengaruh negatif akhlaqnya. Dalam segi preventif, asumsi yang kedua nampaknya lebih bisa diterima. Saya sering katakan kepada orang tua dan guru-guru di sekolah bahwa 3 komponen yang secara manifes akan membentuk pribadi anak adalah orang tua, guru, dan lingkungan. Harus diingat kalau orang tua dan guru tentu arah pembentukannya positif tapi lingkungan, kemungkinannya dua, bisa positif atau sebaliknya malah berdampak negatif.
Maka kita sebagai guru jangan sampai menyerah dalam ikhtiar kita membentuk anak didik ke arah yang positif. Bahkan pernah beberapa orang tua mengatakan kepada saya bagaimana nyaris putus asanya mereka menangani anak dalam perilakunya yang sering menimbulkan masalah di sekolah maupun di rumah. Bayangkan jika orang tua sudah menyerah dalam hal mendidik anaknya yang “dilabelkan” nakal dan lain sebagainya lalu guru pun ikut menyerah maka tinggal lingkungannya yang akan menentukan, khususnya lingkungan teman bermainnya. Maka jangan sampai kita pun sebagai guru ikut menyerah saat orang tua sudah menyerah dan malah memasrahkan harapan perbaikan kepada gurunya.
Terlebih di era digital sekarang berpengaruh pada sikap anak yang terkesan bebas di sosmed namun cenderung pasif saat di dunia nyata. Menangani beberapa problematikanya pun tidak mudah. Ketika kita mendapati murid yang bersikap tidak baik di sosmed lalu kita mengingatkan atau menegurnya maka belum tentu si anak akan langsung mengiyakan apa yang disampaikan guru dan menerimanya sebagai bahan intropeksi untuk perbaikan perilakunya.
Begitu juga yang saya rasakan, beberapa murid yang saya ingatkan dalam beretika di sosmed ada yang menanggapinya datar, biasa saja bahkan mengatakan “ahh.. itu kan facebook saya pak, terserah saya dong mau upload apa aja…”. Mendapati jawaban seperti itu sulit bagi kita untuk menasehatinya. Bagi saya ada hal lain yang harus kita siasati dalam mengingatkan mereka agar menggunakan sosmed dan berkomunikasi di dunia maya sesuai etika selayaknya di dunia nyata.
Ketika saya mendengar bahwa asal muasal perkelahian murid yang terjadi kemarin itu lantaran ketersinggungan di sosmed maka saya tidak begitu kaget. Karena tipikal anak yang hidup di zaman digital sekarang yang dikenal dengan sebutan digital native memang lebih senang mengekspresikan dirinya di sosmed dengan bebas tanpa menghiraukan etika, norma dan sikap. Namun dalam hal mengingatkannya tidak bisa hanya dengan mengatakan, “nak… kamu jangan berkata yang jelek ya di facebook. Jangan upload yang jelek-jelek, karena itu dibaca semua orang”. Apalagi usia anak SMP yang sedang beranjak remaja umumnya sering berontak dan protes, namun dari segi perasaan mereka punya sisi rasa penasaran juga terhadap sesuatu.
Dari rasa penasarannya itu maka saya sampaikan kepada salah satu anak yang terlibat perkelahian bahwa apa yang kamu lakukan di sosmed bisa menentukan masa depan kamu. Si anak akan penasaran dan bertanya apakah betul masa depan bisa ditentukan dari sikap saya di sosmed saat ini. Percakapan pun berlanjut dengan singkat. Saya tanya apa cita-cita kamu setelah besar dan pekerjaan apa yang kamu inginkan dimasa depan kamu?.
“Saya ingin kerja di perusahaan international pak”, ucapnya. “Wah, luar biasa sekali semoga tercapai”, saya timpali dengan doa. Lalu saya ajak dia menerawang jauh ke depan tentang dampak sosmed untuk masa depannya. “Tahukah kamu kalau jaman sekarang proses rekruitmen oleh beberapa perusahaan melibatkan sosmed?”, tanya saya. “Emang iya pak”, jawabnya dengan rasa penasarannya mulai muncul. Saya lanjutkan, begini nak, jejak kita di dunia maya tidak bisa terhapus begitu saja meskipun kita sudah menghapusnya dari akun kita.
“sekarang…. mulailah meninggalkan jejak-jejak positif dan kebaikan di dunia maya agar masa depanmu tidak terganjal oleh jejak peninggalan yang negatif di dunia maya. Think before you post on social media”
Nah, beberapa perusahaan besar sudah menggunakan sosmed untuk melacak bagaimana sikap seseorang yang akan bekerja di perusahaan itu. Bayangkan jika perusahaan yang akan merekrut kamu bekerja nanti kemudian searching di internet dengan keyword nama kamu lalu muncullah salah satu akun sosmed kamu yang kemarin menunjukkan perkataan yang tidak baik dari kamu padahal itu sudah lama terjadi tapi dengan alasan itu perusahaan tersebut menganggap kamu orang yang kurang baik dan tidak cocok bekerja di perusahaan tersebut, sedangkan kamu sudah ingin sekali bekerja di perusahaan itu. Bagaimana perasaan kamu?.
Si anak itu pun hanya terdiam dan tersirat dari wajahnya seakan merenungkan masa depannya. Belum sempat dia menjawab saya langsung tutup perbincangan itu dengan pesan karena saya juga harus segera menghadiri rapat di luar sekolah. “sekarang…. mulailah meninggalkan jejak-jejak positif dan kebaikan di dunia maya agar masa depanmu tidak terganjal oleh jejak peninggalan yang negatif di dunia maya. Think before you post on social media”, ucap saya sambil menepuk pundaknya sebagai isyarat energi positif bahwa dia pasti bisa berubah ke arah yang lebih baik.

resource: http://copyranger.com/