Merefresh sejenak pikiran di sela-sela mengoreksi hasil UAS, rekap nilai dan pengisian raport kali ini saya mengajak guru-guru di tempat kami untuk nobar (nonton bareng). Seperti biasanya menjelang libur banyak film-film bagus yang tak boleh dilewatkan dalam menghabisi waktu liburan nanti. Nah, sebelum libur pun sudah banyak film-film bagus tersebut hadir. Mengambil lokasi di bioskop 21 Grand Mall Bekasi kami tiba pukul 12.00 tepat dan langsung menuju lantai 4. Setelah melihat jam tayang ada 3 pilihan yang bisa ditonton pada waktu sekitar jam 12-an ini. Pertama Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVD) pukul 11.45, kedua Soekarno pukul 12.15 dan 99 Cahaya Di Langit Eropa pukul 12.45. Setelah kami berunding maka diputuskan film TKVD lah yang akan kita tonton, tak apalah baru lewat 5 menit berlalu. Pertimbangannya karena film ini baru keluar (tayang) hari itu (19-12-2013) dimana kita termasuk golongan perdana yang menontonnya. Apalagi film ini bagi saya juga sangat dinanti-nanti. Rasa curiosity terhadap film yang diangkat dari roman (novel) karya ulama besar sekaligus pujangga dari tanah minang yaitu Alm. Prof. Dr. KH. Abdul Malik Karim Amrullah yang masyhur dengan nama Buya HAMKA. Meskipun saya sudah lama membaca novel TKVD namun keinginan untuk melihat versi visualnya tak bisa dielakkan. Setelah mendapatkan tiket kami pun langsung menuju teater 1, tempat ditayangkannya film TKVD.
Baru saja saya duduk sudah terpana dengan tampilan film yang berlatar tanah melayu ini, suasana lokasinya natural, benar-benar menampilkan keindahan alam yang luar biasa. Saya pun teringat film Negeri 5 Menara karena dialognya banyak menggunakan bahasa Padang. Untunglah ada teks terjemahnya. Logat-logat dialog para pemain pun terasa kuat sekali, ditambah dialog-dialog yang banyak mengambil pepatah dari khasanah kesusasteraan melayu. Bagi para pembaca yang belum membaca novel TKVD dan ingin melihat filmnya langsung saja ke bisokop-bioskop terdekat. Kekuatan cerita, peran, karakter, dialog dalam film ini sangat bagus apalagi ditambah soundtrack lagu-lagu dari Nidji Band yang menambah kuatnya karakter-karakter dalam film ini. Belum lagi dari segi visualisasi (gambar) sangat tajam sesuai setting lokasi dan pemandangan alam yang ada.
Film ini menceritakan kisah cinta suci yang berbenturan dengan permasalahan adat dan konflik harta. Semangat bangkit dari kesedihan serta kesejatian cinta dan persahabatan. Seorang pemuda bernama Zainudin (diperankan Herjunot Ali) yang terasingkan dari kampungnya. Setelah lama tinggal di Makassar dia kembali ke kampung ayahnya di Batipuh. Seperti dalam dialognya Zainudin merasa tak dianggap. Ketika di Makassar dia dianggap orang Padang dan ketika kembali ke Padang dia dianggap orang Makassar sehingga penerimaan terhadap dirinya sangat tidak mengenakkan. Ditambah ketika Zainudin bertemu gadis yang kemudian dicintainya dari keturunan bangsawan, Hayati (diperankan Pevita Pearce) yang beradat-bersuku malah Zainudin terusir dari kampungnya karena dianggap tak selevel oleh Datuk dari Hayati. Zainuddin pun memutuskan untuk pergi ke Padang Panjang untuk belajar agama. Di sela-sela perpisahannya, Hayati mendatangi Zainudin di tempat dimana Zainudin sering menghabiskan waktu untuk menulis hikayat. Dalam dialognya Hayati meyakinkan Zainudin bahwa cintanya akan tetap dijaga sampai Zainudin kembali dan Zainudin meminta kenang-kenangan yang akan dijadikan azimat apabila tidak ada umur panjang sampai mereka bertemu kembali. Meskipun nilainya murah tapi bagi Zainudin itu akan sangat berharga. Diberikanlah kerudung hayati kepada Zainudin.
***
Hayati berkesempatan berkunjung ke Padang Panjang berniat untuk bertemu dengan Zainudin. Hayati menumpang di rumah sahabatnya, Hadijah yang memiliki kakak bernama Aziz (diperankan oleh Reza Rahardian). Disinilah konflik mulai muncul. Aziz merasa jatuh hati kepada Hayati namun karena Hayati dari kampung dan Aziz bergaya borjuis dan banyak bergaul dengan teman-temannya dari Belanda maka keraguan masih menghinggapi Aziz. Lamaran pun datang berbarengan kepada Hayati dari Zainudin dan Aziz. Keluarga Hayati jelas memilih Aziz yang bersuku, berharta dan berada sebagai suami Hayati. Zainudin pun ditimpa stress yang cukup berat sampai akhirnya dia disadarkan oleh Muluk (anak guru ngajinya di Padang Panjang). Muluk tidak mau sekolah, malas mengaji dan lebih senang main di pasar untuk berjudi. Tapi justeru Muluk yang membuat Zainudin tersadar bahwa dia harus bangkit. Muluk meyakinkan bahwa Zainudin bisa menjadi penulis hebat dan termasyhur jika potensinya itu dijadikan sebagai batu loncatan untuk bersemangat lagi. Zainudin pun memutuskan hijrah ke Batavia bersama Muluk yang sudah dianggapnya sebagai sahabat. Disana Zainudin sukses menjadi penulis termasyhur dan Muluk sebagai asisten Zainudin. Di tengah kesuksesannya takdir pun mempertemukan kembali Zainudin dengan Hayati pada pertunjukan opera yang diangkat dari bukunya Zainudin berjudul “Teroesir”.
Namun cerita seakan berbalik, Aziz sudah jatuh bangkrut karena kesukaannya bermain judi. Aziz pun dipecat dari kantornya dan meninggalkan banyak hutang. Semua hartanya disita. Di tengah kesulitan itulah Zainudin justeru tak berbalas dendam, dia malah membantu Aziz dan Hayati sampai mempersilahkan mereka tinggal di rumah Zainudin yang sangat luas. Dalam kesempitan yang tak berkesudahan Aziz pergi dengan alasan akan mencari kerja namun surat yang datang kepada Zainudin dan Hayati justeru mengabarkan duka. Aziz bunuh diri dan meninggal. Di saat harapan Zainudin dan Hayati untuk bisa bersatu lagi hadir justeru di luar dugaan Hayati, Zainudin menolak untuk menerima Hayati. Bukan karena dendam tetapi Zainudin teringat pesan terakhir di surat Hayati saat memutuskan akan menikah dengan Aziz. Cinta diantara mereka sebaiknya dihilangkan dan dijadikan persahabatan, ucap Hayati dalam suratnya. Itulah sebabnya Zainudin merasa lebih memilih status sebagai sahabat meskipun dalam hatinya masih menyimpan rasa cinta. Hayati pun akan dipulangkan ke kampungnya oleh Zainudin dan dibekali ongkos oleh Zainudin. Dalam perjalanan pulang itulah Hayati menumpang kapal besar dari Belanda yaitu Van Derwijck yang dipesan oleh Zainudin. Disinilah cerita dari judul Tenggelamnya Kapal Van Derwijck baru bisa ditebak. Ya, kapal itu pun tenggelam di dalam perjalanan.
Zainudin yang bermaksud menyusul Hayati ke Padang Panjang akhirnya harus melihat kondisi Hayati di rumah sakit setelah melihat berita di koran tentang kejadian tersebut. Sesampainya di rumah sakit Hayati masih sempat berbincang dengan Zainudin dan meminta Zainudin untuk mentalqinkan (membimbing) bacaan kalimat suci (syahadat) di telinga Hayati. Ending cerita ini menjadikan Zainudin kembali harus bangkit dari kesedihannya yang kedua kalinya ditinggal Hayati. Zainudin pun akhirnya menulis sebuah buku hikayat berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Derwijck”, dengan harapan Hayati akan terus hidup dan memberi makna bagi orang-orang (para pembaca) bahwa “Kejatuhanmu bukanlah awal kesedihanmu tetapi awal kebangkitanmu”.
Resume novelnya silahkan baca disini
Nikmati Soundtracknya dari Nidji