Kolom hikmah kali ini terinspirasi dari kejadian di skala nasional dimana melibatkan dua putera pejabat negeri yang sedang ramai diperbincangkan. Tak penting apa problemnya benar atau salah, tapi yang hendak disuguhkan disini adalah kontekstualisasi dari potret lapisan-lapisan dalam struktur masyarakat kita yang secara tidak langsung masih merasakan diferensiasi perlakuan dalam segmen masyarakat. Penulis kemudian membaca satu tulisan yang juga sinkron dengan hikmah ini dalam blog http://www.timur-angin.com dengan judul Balada Dua Putera Pejabat. Dua putera yang dimaksud adalah Muhammad Rasyid Amrullah Rajasa (putera Menko Perekonomian Hatta Rajasa) dan Eddhie Baskoro Yudhoyono (putera Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Dari namanya jelas sudah terkandung makna korelasi nasab dengan nama sang ayah.
Lalu apa hikmahnya? Prestise dengan menyandang nama besar ayah (keluarga besar) jangan dijadikan sebagai alat diferensiasi status sosial atau bahkan ketimpangan hukum maupun ekonomi. Dari dua kejadian di atas, yang pertama adalah kelonggaran hukum yang diterima Rasyid setelah dipastikan sebagai tersangka kasus kecelakaan maut yang menewaskan dua orang namun masih bisa melenggangkan diri tanpa berdiam di balik jeruji besi apapun alasannya. Dan yang kedua tentang berita di media ramai memperbincangkan kelakuan Ibas (panggilan Eddhie Baskoro Yudhoyono) yang terkesan seenaknya datang saat rapat paripurna bukan melalui pintu utama kemudian presensi diantarkan oleh paspampres/pihak sekretariat DPR. Tidak hanya sampai disitu, setelah Ibas menanda tangani presensi yang diantarkan lalu dia pun pergi tidak menghadiri rapat paripurna dengan alasan sibuk.
Dua fenomena di atas sebetulnya banyak menghiasi kehidupan kita, tak terkecuali di sendi kehidupan lingkup makro maupun mikro. Betapa menggelayut di nama besar orang tua itu prestise, pelabelan diferensiatif dan kulminasinya bisa menimbulkan problema kebal hukum atau anti kritik. Perbedan jelas nyata terlihat dimana orang biasa yang terjerat kasus hukum yang ringan saja penanganannya bisa berbeda 100% daripada kasus berat yang dijerat oleh seorang putera mahkota. Pelayanan, fasilitas, apresiasi, serta penerimaan diri merupakan aspek yang sering dibedakan antara orang keturunan “nama besar” dengan orang biasa. Lebih dari itu, dari segi posisi, jalan instan pun bisa diraih untuk menempati posisi-posisi strategis tanpa harus bersusah payah bersaing dengan para kontestan yg mungkin lebih kwalified namun kalah secara embel-embel nama belakang.
Benar kata Sayyidina Ali; “Laisal fataa man yaquulu ‘haadzaa abii’, walaakinnal fataa man yaquulu ‘haa anaa dzaa’ “. Artinya: “Bukanlah seorang pemuda yang mengatakan ‘Ini Bapakku’, tetapi yang dikatakan pemuda adalah mereka yang mengatakan ‘Inilah Aku’.
Dalam maqalah tersebut Imam Ali radhiyallahu ‘anhu melakukan penekanan pada kalimat ‘Inilah Aku’. Dalam konteks Bahasa Arab, kalimat tersebut lazimnya berbunyi “haadzaa anaa”, tetapi beliau menyebutnya dengan secara tidak lazim, yaitu: “haa anaa dzaa”. Kata tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk penekanan bahwa memang begitulah seharusnya pemuda. Bukan membanggakan apalagi memanfaatkan nama besar orang tua untuk kepentingan semu atau untuk menstigmatisasi sekat-sekat humanitarian. Pemuda harus berani mengambil posisi secara mandiri, berkata bahwa inilah aku yang mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kompetensi dan eksistensi aku.
Semoga statement sayyidina Ali bisa terus memotivasi kita untuk berkarya, berjuang, bekerja dengan independensi jati diri kita sebagai manusia. Lebih transendental Allah pun mengingatkan kita dalam ayatnya di surah Al-Hujurat ayat 13 bahwa yang dipandang mulia di sisi Allah adalah TAQWANYA, bukan keturunannya, hartanya, apalagi jabatannya.

source: http://akhjoko.blogspot.com
Salam Hikmah,
Abu Abbad