Sudah lewat sebulan 2 hari saya menunda tulisan yang harus dikirimkan kepada panitia Teacher Writing Camp (TWC) #1 untuk dikolektifkan dan rencananya akan dibukukan bersama tulisan-tulisan dari semua peserta TWC #1 yang diselenggarakan di Wisma UNJ pada tanggal 8-9 Desember 2012 yang lalu. Sewaktu mendengar rencana itu saya cukup senang dan excited, karena setidaknya tulisan saya bisa dibukukan walaupun berisi kolaborasi kumpulan tulisan atau istilah kerennya “Bunga Rampai”. Tak mengapa untuk langkah awal, seperti kata pak Ukim Komarudin salah satu pemateri pada TWC #1, “menulis bisa sendiri bisa juga berpartner”. Dalam hal ini partnernya banyak yaitu semua peserta TWC#1 sehingga akan melahirkan banyak warna dan pengalaman yang bisa diraih. Tentu peserta yang lain pun senang dengan rencana menerbitkan buku ini.
Hari terus bergulir saya masih belum merampungkan tulisan, saya lihat sudah banyak peserta yang mengirimkan tulisan dan semuanya saya baca bagus-bagus tulisannya. Hal tersebut bisa saya lakukan karena Omjay (penggagas acara TWC#1) selalu memposting tulisan peserta yang akan dibukukan serta mengirimkan juga ke email saya. Semangat pun makin menggebu namun tetap belum memulai untuk menulis apalagi sudah masuk waktu liburan yang disibuki kegiatan silaturahim, kesana kemari dan lain-lain namun itu pun tidak akan saya jadikan alasan. Menulis itu bisa kapan saja, dimana saja, begitulah salah satu ucapan pak Dedi Dwitagama (pemenang guraru award 2012) yang sering disampaikan saat mengisi materi kepenulisan.
Saat saya mulai menulis inilah saya tersadar kalau dihitung secara bulan memang tertunda sebulan tulisan ini, tapi kalau dihitung tahun ternyata saya sudah menundanya selama setahun karena sudah berganti tahun 2013. Segera saya pun menuliskan kata per kata di laptop yang baru saja saya peroleh dari hasil menulis, ini salah satu keberkahan menulis yang nanti saya bahas juga dalam tulisan singkat ini. Apalagi aspek tulisan salah satu poin resolusi saya di tahun 2013. Bahkan pak Ukim menantang saya saat menanda tangani bukunya yang saya beli di pelatihan guru menulis. Semoga tercapai.
Saya pernah membaca status facebook teman saya sewaktu aktif di HMI Cabang Yogyakarta saat kuliah S1 yang sekarang menjadi kandidat doktor politik di UGM. Dia menuliskan, “Tulisan adalah kakinya seorang intelektual. Dengan tulisan, kita bisa ke mana-mana dan berada di mana-mana”. Postingan inilah yang menginspirasi judul tulisan saya dengan modifikasi menjadi “Tulisan Adalah Kakinya Seorang Guru”. Sebetulnya tak jauh beda, karena guru pun sejatinya seorang intelektual. Dalam wikipedia disebutkan “Intelektual ialah orang yang menggunakan inteleknya (kecerdasan) untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengajak, atau menyoal dan menjawab soalan tentang berbagai-bagai idea” (http://ms.wikipedia.org/wiki/Intelektual). Dalam konteks tersebut, guru justeru menjadi pioner dalam kegiatan intelektual, dia bekerja, belajar, mengajak sampai menjawab semua persoalan.
Untuk itulah tulisan juga merupakan kakinya para guru meskipun aktivitasnya dilakukan oleh tangan namun outputnya kaki juga merasakan, mengapa demikian? Karena tulisan guru bisa kemana-mana dan berada dimana-mana. Guru yang hanya menulis di satu media papan tulis dia bisa berada di kelas apalagi guru yang bisa menulis (aktif) di berbagai media dia bisa kemana-mana dengan tulisannya, merambah cakrawala dunia pendidikan bahkan sampai ke pelosok dunia. Selain itu juga guru bisa berada dimana-mana, dengan tulisan sang guru bisa berada di tempat-tempat lain untuk menginspirasi dan memotivasi. Bahkan pada kulminasi tertentu, guru yang menulis bisa diperjalankan (istilah pak Dedi Dwitagama) ke berbagai tempat. Inilah yang menyebabkan teman saya menulis status seperti di atas, dia merasakan karena tulisannya bisa mengantarkan kemana-mana dan bisa berada dimana-mana. Memang tidak banyak guru yang menyadari hal ini karena mereka belum berani atau mau memulainya, bukan tidak bisa.
Hal tersebut juga saya rasakan, hanya karena seseorang membaca tulisan saya dan menilainya menarik sehingga si pembaca mengundang saya untuk berbagi bersama rekan-rekan di tempatnya bekerja (read: sekolah) dan akhirnya ada nilai pahala silaturahim disana. Di lain waktu, tulisan saya di blog mengundang banyak komentator yang beragam dari pelosok negeri serta berbagi pengalamannya lewat tulisan membuat saya berasa ada dimana-mana. Dan kulminasinya (sementara) saya mendapatkan hadiah laptop Acer AO 756 dari lomba blog pelatihan guru menulis. Itulah sebabnya saya sering berujar, “menulislah dan rasakan berkahnya”, berkah silaturahim dikenal dan mengenal orang-orang luas, berkah ilmu bisa berbagi dan memperoleh banyak manfaat, berkah ibadah karena yakinlah tulisan kita bernilai ibadah di sisi Allah SWT, semua amal tergantung niatnya.
Saya pun bergumam dalam hati, memang dahsyat menulis itu. Omjay dengan tagline-nya “menulislah setiap hari dan buktikan apa yang terjadi”, ternyata banyak manfaat dan kebaikan yang unpredictable didapatkannya, dalam bahasa Al-qur’annya “min haitsu laa yahtasib”. Itu kalau setiap hari, ternyata saya saja yang belum setiap hari menulis sudah merasakan apa yang terjadi (istilah saya berkahnya), apalagi kalau setiap hari. Jadi memang benar dan shahih kalau menulis itu banyak manfaatnya. Guru yang menulis kakinya akan digerakkan kemana saja memperoleh banyak manfaat, guru yang menulis kakinya akan menggerakkan banyak guru-guru lain untuk berbuat yang lebih baik dalam dunia pendidikan.
Menulis bisa dikategorikan sebagai ibadah, amanah, dan rahmah. Menulis sebagai ibadah merupakan niat yang harus dijaga di setiap pribadi muslim. Ibadah bukan sebagai kewajiban melainkan kebutuhan. Bagi guru-guru yang masih belum memulai untuk menulis mungkin ini bisa dijadikan spirit. Anggaplah menulis itu suatu kebutuhan yang kita niatkan sebagai ibadah dengan ganjaran pahala. Bukankah kata pepatah Arab mengatakan ilmu yang tanpa amal seperti pohon tanpa buah (al-‘ilmu bilaa ‘amalin kassyajari bilaa tsamarin). Amalan ilmu salah satunya adalah dengan menulis. Menulis adalah manifestasi dari ibadah kepada Tuhan dalam arti yang seluas-luasnya.
Menulis sebagai amanah adalah tanggungjawab kita secara profesi. Guru dituntut untuk aktif menuliskan bahan ajar, administrasi dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa profesi guru sangat ditunjang oleh kegiatan menulis. Di sisi lain, Allah saja memerintahkan kita untuk menulis (mencatat) transaksi hutang piutang yang dijelaskan dalam firman-Nya cukup panjang di surah Al-Baqarah ayat 282. Itu merupakan amanah yang tidak bisa dipungkiri dalam kontekstualisasi menulis. Menulis juga merupakan rahmat. Pengamalan ilmu melalui menulis, relasi kepenulisan, hasil menulis, semuanya merupakan rahmat dan karunia Allah SWT. Menulis adalah rahmat Allah untuk menggali dan menuliskan ilmu-ilmu apa saja serta merasakan manfaatnya. Pak Ukim pernah berkata, “Siapa ingin mengetahui dunia perbanyaklah membaca, siapa ingin dunia mengetahui dirinya perbanyaklah menulis”. Dunia adalah rahmat Allah yang luas diberikan kepada manusia, ketika dunia mengetahui diri kita melalui tulisan maka rahmat pun semakin luas kita rasakan.
Semoga para guru senantiasa bangkit dan menularkan virus menulis agar kakinya para guru bisa aktif bergerak dan digerakkan.