Sejarah mencatat, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan yang sudah dikenal sejak lama sebagai wahana pengembangan masyarakat, serta berperan penting dalam proses akulturasi dan transformasi zaman. Dengan orientasi tersebut, pondok pesantren telah mampu menunjukkan partisipasi aktifnya bersama-sama pemerintah dalam menyukseskan program-program pembangunan, terlebih dalam hal kehidupan keagamaan dan pencerdasan kehidupan bangsa. Pergulatan literatur sejarah dan dinamika sosial secara dialektik membuat pesantren mempunyai kesadaran dan konsen untuk ikut mengawasi proses perjalanan bangsa sesuai dengan cita-cita agama dan masyarakat secara universal.
Pada abad ke-20, sebagian pesantren mulai menampakkan wajah baru dengan menerapkan sistem pendidikan berjenjang, memasukkan kurikulum umum–mulai dari ilmu eksakta, bahasa dan lain sebagainya–disamping agama, serta memanfaatkan beberapa fasilitas modern, seperti komputer, laboratorium bahasa, bahkan teknologi internet. Perkembangan ini pantas diapresiasi, meski terdapat asumsi yang mengindikasikan bahwa semakin maju pesantren semakin ia meninggalkan masyarakatnya. Menurut data UNESCO pada tahun 1984, kurang lebih ada 54.000 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pondok pesantren yang cukup besar jumlahnya dan tersebar di wilayah pedesaan memiliki posisi strategis dalam mengembangkan peran-peran pengembangan pendidikan maupun sosial keagamaan bagi masyarakat sekitar. Namun hal ini terkadang tidak diorganisir secara optimal. Masyarakat pesantren adalah masyarakat yang universal-holistik yang terdiri dari masyarakat eksternal dan internal pesantren.
Masyarakat eksternal adalah masyarakat yang berada di sekitar lingkungan pesantren yang merasakan manfaat “keberkahan” dari eksistensi pesantren itu sendiri. Sedangkan masyarakat internal adalah masyarakat yang berada di dalam lingkungan pesantren itu sendiri, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan masyarakat eksternal. Masyarakat internal pesantren diantaranya meliputi para Kyai (ulama), asatidz, santri, dan yang tak kalah urgennya adalah alumni (mutakhorrij).
Pemberdayaan masyarakat internal inilah yang pada perjalanannya nanti sangat menentukan kemana arah pengembangan pesantren akan dijalankan. Alumni sebagai bagian integral dari elemen pesantren jarang sekali diakomodasi perannya oleh pihak pesantren itu sendiri. Hal ini diasumsikan karena selepasnya santri menyelesaikan studi (ngaji)nya di pesantren dianggap tidak ada hubungan koneksi-kontributif dengan pesantren itu sendiri. Karenanya para alumni pesantren sering terjebak pada arogansi intelektual dalam menjajakkan kiprahnya di dunia kerja. Padahal kalau saja alumni diakomodasi secara korelatif tentu apresiasi dan kontribusi alumni memiliki peran signifikan dalam menentukan arah pengembangan pesantren.